Thursday
2024-03-28
6:04 PM
 
WEN'S PHOTOGRAPHY
 
Welcome Guest | RSSMain | Blog | Registration | Login
Site menu
Our poll
Rate my site
Total of answers: 42
Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0
Login form
Main » 2010 » June » 5 » Sejarah Minangkabau
9:45 AM
Sejarah Minangkabau
Daerah daratan yang dikenal dengan nama minangkabau identik dengan propinsi Sumbar. Minangkabau sebenarnya lebih dikenal sebagai konsep kebudayaan ketimbang konsep wilayah pemerintahan. Kebudayaan minangkabau secara geografis lebih luas dari pada batasan propinsi yang kita kenal sekarang. Keluasannya itu dapat dilihat dari sejarah minangkabau. Berarti istilah minangkabau mempunyai pengertian yang ganda, yakni sebagai sebutan bagi Territorial dan Kultural.

Secara territorial, daerah minangkabau terdiri dari atas Sumatera Barat sekarang, ditambah dengan sebagaian daerah Riau daratan dan Jambi.  Dalam pengertian sosial budaya, ia merupakan suatu kesatuan yang utuh dari kelompok etnis yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang, ditambah dengan kawasan pengaruh kebudayaan minangkabau seperti: daerah utara dan timur Sumatera Barat yaitu Riau daratan, negeri Sembilan di Malaysia, daerah selatan dan timur yaitu daerah pedalaman Jambi, daerah pesisir pantai sampai ke Bengkulu dan jambi, sebelah barat berbatasan dengan samudera hindia.

Dalam pengertian kultur-historis, daerah-daerah itu lazim disebut "Pesisir”, "Darek”, dan "Rantau”. Daratan rendah disebelah barat bukit barisan dan berbatasaan dengan samudera Indonesia, biasa disebut "pesisir”. Daerah pesisir itu pernah memegang peranan penting dalam sejarah minangkabau, misalnya tiku-pariaman di sebelah utara padang, Bandar sepuluh dan indrapura sebelah selatan. Daerah "darek” (darat) adalah daerah pegunungan bukit barisan, diantaranya adalah lembah gunung singgalang, gunung tandikat, merapi daan sago. Dataran tinggi dan lembah-lembah bukit barisan itulah daerah minangkabau asli, atau yang sering disebut dengan "alam minangkabau”. Sedangkan daerah "rantau” adalah daerah kolonisasi "alam minangkabau” yaitu daerah-daerah di lembah-lembah sungai, anak sungai yang mengalir ke luar "alam minangkabau”, terutama daerah timur minangkabau (mansoer, dkk, 1970, 2-3). Selanjutnya pengertian "rantau” sekarang berarti daerah di luar minangkabau.

Luas propinsi ini adalah 42.901 km2, namun hanya 12,5 % berdaerah datar yang dapat digarap atau ditanam; selebihnya adalah daerah perbukitan dan pergunungan. Bukit barisan membentang dari utara ke selatan, melintasi daerah ini, dengan puncak-puncaknya seperti gunung merapi, sago, singgalanag, tandikat, talakmau dan pasaman. Di sekitar inilah terletak dataran tinggi agam, 50 kota, tanah datar, sawah lunto sijunjung dan pasaman. Pada lembah-lembah pegunungan ini terdapat danau singkarak, maninjau, danau di atas dan danau di bawah.

Perilaku yang memiliki aturan bisa disebut sebagai adat. Dalam masyarakat tradisional, aturan itu umumnya tidak tertulis. Adat dapat dikatakan sebagai hasil kesepakatan sosial (konvensi). Adat meskipun tidak tertulis selalu diikuti masyarakatnya. Masyarakat minangkabau mempunyai adat tersendiri yang dahulunya disusun oleh datuk ketamamnggungan dan datuk perpatih nan sabatang. Orang minangkabau marah, jika dikatakan kepadanya, itu berarti "minang”nya telah hilang dari minangkabau sehingga tinggal "kabau” atau "kerbaunya” saja, yang berarti dia akan identik dengan binatang itu. Perubahan dalam adat minangkabau itu dianggap sebagai sesuatu yang perlu, dan harus dialami dan merupakan suatu kodrat alam. Masyarakat minangkabau mengalami beberapa perubahan dasar dalam adat istiadatnya seiring dengan perubahan zaman. Perubahan itu diantaranya dengan masuknya berbagai pengaruh seperti Hindu dan islam. Agama Hindu dan Budha tergeser akibat masuknya agama Islam.

Rumusan adat minangkabau mengalami penyesuaian dengan zamannya rumusan-rumusan yang berbunyi:

"Adat bersendi alur dan patut, alur dan patut bersedendi kebenaran, kebenaran bediri dengan sendirinya (pengaruh hindu).

Lalu berubah menjadi:

"alam bersendi syarak dan syarak bersi adat (pengaruh islam)”

Setelah perang paderi, ada suatu gerakan yang berusaha meningkatkan kualitas kehidupan orang islam minangkabau. Kemudian ajaran agama islam semakin kuat keberadaannya, dan orang minangkabau menjadi pemeluk agama islam yang taat. Rumusan adat diatas mengalami penyesuaian menjadi:

"Adat bersendi syarak, Syarak bersendi kitabullah”,

Petuah lain mengatakan, agama mengata, adat memakai, Artinya, agama memberikan ketentuaan atau fatwa, aturan (adat) menusia adalah memakai.

Pada zaman kolonial Belanda, pengembangan kebudayaan terkait langsung dengan kaum adat (ninik mamak) bukan saja karena belanda menggunakan ninik mamak sebagai "tangan” untuk memerintah minangkabau, tetapi karena berubahnya pandangan masyarakat terhadap pendidikan yang dikenalkan oleh Belanda. Pada zaman ini, orientasi budaya masyarakat minangkabau tidak hanya pada rumah gadang, gelanggang atau medan, tetapi meluas ke "surau” dan "sekolah-sekolah”. Kegiatan bersekolah, akhirnya ikut mempengaruhi budaya minangkabau yang melahirkan tokoh yang cerdik, pandai dan modern. Suatu karakter yang akhirnya dimiliki dan dapat dimanfaatkan masyarakat minangkabau baik untuk berdagang maupun untuk menuntut ilmu.

Dengan terbentuknya negara republik Indonesia, adat dan kebudayaan minangkabau kembali berhadapan dengan sejumlah perubahan. Hukum-hukum adat berangsur surut, digantikan dengan hukum-hukum negara. Peran para tungganai dan ninik mamak berkurang terus menerus.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah dampak dari pengaruh-pengaruh dan perubahan itu kepada kebudayaan masyarakat minangkabau sebelumnya?

Pusat budaya minangkabau yang pertama adalah rumah gadang, gelanggang ((sasaran, medan, untuk bersilat, berandai dan bertanding )(esten, 1993:24). Juga tidak dilupakan lapau serta balai sebagai tempat pertemuan masyarakat.

Setelah masuknya islam bertambah dengan mesjid dan surau, kemudian "sekolah” setelah jaman belanda. Hal ini tidak hanya menggambarkan perubahan budaya, tetapi juga perubahan serta pergeseran  pusat   kekuatan sosial dan wilayahnya. Jika rumah gadang dan tanah adalah wilayah kekuasaan  wanita, surau, lapau dan balai adalah wilayah kekuasan laki-laki.

Rumah gadang dikatakan sebagai pusat budaya masyarakat minangkabau zaman lampau karena sifatnya yang bertumpu kepada suku atau kaum. Hal ini dapat dipahami karena rumah gadang adalah fasilitas yang dibuat untuk kaum atau suku garis keturunan ibu, dengan adanya ajaran kehidupan baru, kehidupan baru yang diajarkan oleh agama maupun yang datang bersama pendidikan barat, mengakibatkan tumbuhnya kritik terhadap pola kehidupan di rumah gadang dan aturan adat umumnya. Hal ini banyak digambarkan dalam para pengarang tentang minangkabau jaman sebelum kemerdekaan, misalnya tentang cerita siti nurbaya, akibat pandangan baru, terutama pandangan tentang peranan wanita atas harta, keturunaan dan pendidikan anak mengakibatkan konflik antara ajaran adat dan agama, bahkan oleh ajaran pendidikan barat (navis;1985). Dengan adanya pandangaan baru, maka kehidupan laki-laki di surau dan di lapau juga ditinggalkan. Dampak dari pengaruh ajaran baru itu sangat besar kepada perilaku orang minangkabau. Dalam sejarah minangkabau tercatat konflik yang besar antara kaum adat dan kaum agama yang disebut perang padri, perang ini timbul bukan saja karena keberpihakan belanda kepada kaum adat, tetapi lebih-lebih lagi karena adanya keinginan kaum agama untuk menegakkan ajaran terlepas dari berbagai unsur yang dianggap tidak murni.

Terlepas dari masalah konflik kaum adat dengan kaum agama, rumah gadang sebenarnya adalah basis pertahanan terakhir kaum adat. Hal ini terlihat dari unsur-unsur visual bangunan pada rumah gadang.

1. Sistem kemasyarakatan

Sebelumnya sudah dijelaskan mengenai masyarakat etnik minangkabau dikenal dengan sistem keturunan yang diperhitungkan menurut garis keibuan atau matrilineal. Dalam kekerabatan seseorang termasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya, sesuai dengan sistem matrlinieal yang dianut, orang-orang yang seibu  yang disebut saparuik (satu perut). Beberapa keturunan saparuik itu bergabung dalam sattu suku dan beberaapa suku bermukim dalam satu tempat yang disebut koto, dan beberapa buah koto membentuk sebuah nagari.

Dengan demikian masyarakat minangkabau menempatkan wanita pada posisi penting, yang didukung oleh harta pusaka (harto pusako) seperti lahan pertanian suku, tanah ulayat suku atau kaum serta nagari, rumah gadang, taratak. "keluarga” dalam pengertian umum tidaklah sama dengan "keluarga” dalam masyarakat minangkabau. Sedangkan keluarga dalam pengertian masyarakat minangkabau adalah sekelompok orang-orang yang terdiri dari nenek, ibu dan anak-anaknya saja. Manurut mereka, ayah merupakan angota keluarga orang tunya (ibu).

Rumah gadang dapat dilihat sebagai lambang kebesaran suku. Penghuninya bukan terdiri dari kesatuan kerabat seperti ayah, ibu dan anak. Tetapi sekumpulan warga sesuku, seperut yang berasal dari satu suku ibu. Warga wanita memiliki hak sebagai penerus generasi, sedangkan warga laki-laki memiliki kewajiban selaku pengelola kehidupan kerabatnya pula.

Dalam kerabat rumah gadang selalu ada ibu yang dituakan dengan wewenang kato putuih”kata putus” atau yang memutuskan. Sedangkan warga laki-laki yang dituakan berstatus sebagai "mamak” bisa bertindak sebagai "penghulu suku” bahkan "penghulu pucuk” (pucuk=atas) yang akan memimpin "koto” atau "nagari”.

Perkawinan di sumatera barat hanya dapat dilaksanakan bila calon istri atau suami berbeda suku. Selanjutnya anak sebagai penerus generasi mengikuti suku ibu, termasuk penerusan gelar pusaka (bila seseorang laki-laki kain maka dia diberi gelar), dan gelar datuk untuk mewakili sukunya.

Struktur suku di minangkabau menurut Amir M.S (1997:50) dalam bukunya adat minangkabau: pola dan tujuan hidup orang minangkabau. Yang ada di dalam lingkungan besar adalah penghuni rumah gadang, kadang-kadang ditambah dengan nenek.

2. Bentuk Bangunan

Dualisme dan konflik yang dialami orang minangkabau berakar terutama pada kehadiran keselarasan Budi Caniago (BC) dan Koto Piliang (KP). Dualisme ini sebenarnya masih berlanjut sampai sekarang. Dengan adanya paham ini di masyarakat, bukan saja di minangkabau, tetapi juga di Indonesia yang masih mempertahanakan sifat-sifat feodalistik (KP) dan masyarakat yang menginginkan demokrasi (BC). Dengan penelitian pada kawasan penganut LNP  (Kelarasan Nan Panjang) menjadi jelas bahwa LNP (yang non blok) bertindak sebagai penengah antara keduanya. Dalam penelitian mengenai unsur-unsur visual bangunan terungkap bahwa bangunan LNP, berbeda dengan bangunan KP maupun BC.

Dalam menyusun ajarannya itu kedua datuk ini berpegang kepada adat yang sebenarnya adat, kepada sifat-sifat dan hukum-hukum alam. Proses itulah yang kemudian disebut dengan alam takambang jadi guru. Dengan berguru kepada alam itu, kedua datuk ini menyusun sistem adat minangkabau, dengan rumusan : adat bersendi alur dengan patut; alur dan patut bersendi bana (benar): bana berdiri dengan sendirinya. Untuk menetapkan alur dan patut harus digunakan raso (rasa) dan pareso(periksa, akal, kognisi). Alur adalah huku dari sifat alam, sedangkan patut berasal dari hal-hal yang bersifat etis (kesusilaan dan hati nurani)

Pengaruh BC sebenarnya sangat kuat di minangkabau, hal ini dapat dilihat dari kecendrungan komunitas minangkabau yang demokratis dan beroriantsi kepada nagarinya masing-masing. Pengaruh BC ini bercampur dengan persepsi mikrokosmik yang mereka miliki tentang "alam” "luar” dan "dalam”

Mereka terlalu terikat dengan kaumnya/nagarinya dan kurang terbuka dengan luar nagarinya, inilah hakekat yang sebenarnya dari "adat selingka (selingkar) nagari”

Jadi dari segi seni rupa, tidak ada bentuk bangunan yang persis sama di nagari-nagari minangkabau, walaupun kelihatan sama selalu ada perbedaan bentuk dan variasinya. Artinya tiap nagari merasa mempunyai hak otonom untuk mengatur dirinya sendiri. Kesesuiaan orang minangkabau diutamakan untuk nagarinya, (tanah tempat kelahirannya), terutama untuk "kaumnnya” (saparuik) bukan untuk sukunya, karena tidak adanya ikatan diantara mereka berdasarkan suku.

Ciri tradisi yang disebutkan di atas kemudian menghasilkan tanda-tanda dan makna tertentu pada unsur-unsur visual bangunan, perbedaan dan keragaman yang dihasilkan (BC, KP da LNP)dari segi fungsi-fungsi arsitektur hanya bersifat variatif, bukan alternatif. Misalnya pengklasifikasian empat jenis ruang berdasarkan lanjar seperti "balai dan labuah” (luar) atau "bandua dan bilik” (dalam), memiliki kemiripan di semua banguan rumah gadang di minangkabau, namun lain dibidang seni rupa dimana unsur-unsur bangunan seperti ukiran telah ditampilkan dengan cara yang berbeda dengan maksud yang berbeda pula.

Konsep dualistic  antithesis BC dan KP, mempengaruhi penataan bangunan bukan dalam dualism "luar” dan "dalam”, tetapi juga antara "atas dan bawah”, vertical dan horizontal, unsur-unsur visual eksterior bangunan di bagian kiri dan kanan sama bentuknya. Walaupun bagian bangunan atas tidak sama dengan bagian bangunan di bawah tetapi kedua unsur itu jelas dipertentangkan.

Kekayaan ungkapan verbal dari seni tradisional minangkabau seperti petatah-petitih memperlihatkan pola-pola tertentu yang ada hubungannya dengan penciptaan bentuk visual, misalnya penciptaan ukiran, antara lain dalam hal penciptaan ikon-ikon yang bersifat metaforik dan simbolik. Dari segi analisa "isi” content pidato adat masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Melihat karakteristik seni hindu yang "iconic” dan sebaliknya islam yang "iconoclastic”, maka kembalinya ke unsur-unsur flora merupakan penyelesaian (solusi) dan jalan tengah (kompromi). Seni islam yang menghendaki abstraksi dapat dilakukan kepada objek alam flora atau benda, dan keinginan untuk menitipkan makna dan berkias (tradisi minangkabau) dapat dilakukan melalui simbol atau tanda visual lainnya.

Warna minangkabau yang utama adalah sirah (merah tua kecoklatan), kuniang (kuning kunyit) dan hitam, dalam bangunan juga terlihat penggunaan warna putih. Apakah warna ini ada hubungannya dengan angka empat perlu penelitian lebih lanjut, yaitu untuk melihat struktur kosmos yang diwakili oleh warna.

Ketiga unsur warna ini melambangkan luhak agam (merah), luhak tanah datar (hitam) dan luhak lima puluh kota (hitam), yang kemudian menjadi warna merawal/bendera minangkabau. Menurut A.A. Navis (1986), dalam bukunya alam takambang jadi guru, pembangunan rumah gadang secara tradisional seperti yang lama, sudah tidak ada lagi sejak zaman penajahan belanda, yaitu pada akhir abad ke-19.

Ada anggapan bahwa keinginan kembali ke tradisi, berdasar kepada penonjolan identitas, "jati diri”. Seperti kata yunus dalam esten (1988: 88). Keinginan kembali ke tradisi, adalah tak universal. Fenomena universal menurut yunus biasa dalam dunia ilmu. Adakalanya orang menonjolkan hakikat yang berbeda dari suatu  fakta budaya dibandingkan dengan yang lain. Tetapi, lain kali mungkin dia bergerak kearah yang berlawanan, keduanya dapat dianggap sama benar.

Sedangkan kaum laki-laki atau saudara ibu yang disebut "tungganai” dan ninik mamak, hanya mempunyai hak sebagai pengatur manajemennya. Suami dari wanita yang menghuni rumah gadang atau yang disebut orang "sumando” (semenda), hidupnya ibaratnya "abu di atas tunnggua” (abu di atas tunggul) yang mudah terhembus dan terbang. Dia samasekali tidak memiliki kekuasaan di rumah gadang.

Secara sosiologis ada tiga wilayah kekuasaan dalam masyarakat minangkabau, rumah gadang sebagai wilayah kekuasaan wanita, surau bagi remaja dan orang tua, dan lapau (lepau) bagi kaum laki-laki (jeffey A. Hadlar)

Dahulu, rumah gadang adalah "wilayah sosial” yang penting dan bermakna bagi wanita di minangkabau. Sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal, maka hak atas tanah, bangunan dan keturunan dikuasai oleh pihak wanita, beserta suku dan kaumnya. Untuk mendukung itu, diperlukan sejumlah aturan adat dalam kehidupan rumah gadang. Misalnya, anak laki-laki remaja diharuskan untuk bermalam di surau. Urang sumando (suami) berada di rumah gadang hanya pada malam hari. Pada siang hari dia pulang untuk mengurus kaumnya, sebagai mamak, tungganai atau penghulu. Dalam skala yang lebih luas, terdapat sejumlah upacara adat, yang menggambarkan tradisi dan adat alam minangkabau. Di duga, terdapat pula sejumlah tradisi yang mengatur keberadaan dan  bentuk rumah gadang.

Selanjutnya akan timbul suatu pertanyaan, apa sajakah yang mendasari motivasi penciptaan rumah gadang? Apakah rumah gadang dibangun hanya berdasarkan alasan keberadaan suku atau kaum. Dengan artian, hanya sebagai bukti eksistensi sistem matrilineal di minangkabau?

Di minangkabau memang terdapat beberapa aturan adat. Oleh para penulis tentang minangkabau, adat ini diringkas menjadi dua macam saja. Yaitu adat yang berbuhul mati (adat yang tidak boleh dirubah) dan adat yang berbuhul sentak (adat yang bias dirubah).

Adat yg bisa dirubah timbul dari musyawarah komunitas nagari-nagari di minangkabau. Adat ini berkaitan langsung dengan pembangunan rumah gadang, di mana aturan membangun ditetapkan oleh komunitas nagari, degan mengkaji apa yang boleh dan tidak dalam pembangunan suatu bangunan tradisional minangkabau.

Tradisi yang tidak boleh dirubah itu dapat diperinci lagi: yaitu ketentuan garis keturunan menurut sistem matrilineal, ketentuan ikatan perkawinan yang diperbolehkan hanya dengan luar persukuan (eksogami), ketentuan harta kekeyaan atau harta pusaka tinggi yang tidak bias diperjualbelikan, dan falsafah yang menjadi pegangan hidup yaitu falsafah alam takambang jadi guru.

Bangunan rumah gadang dapat dijadikan sebagai penjewatahan dari adat yang tidak bisa dirubah, makna bangunan bagi masing-masing nagari. Makna itu juga dapat diklasifikasikan menurut 4 sumber pemikiran, pertama pemikiran yang berskala dari masa primordial, kedua dari masa hindu-minang, ketiga masa islam-minang dan terakhir alam pemikiran baru.

Referensi

Arleti M.Apin,  Program magister Desain, ITB, 2002.

Temukan informasi lainnya mengenai Minang, Padang, Sumatera Barat, perkawinan adat minangkabau, Foto Pengantin, Foto Prewedding, Photo Pernikahan, Fotografi Pernikahan, Photo Wedding, Fotografi Wedding, Foto Pernikahan, Foto Wedding, Photo Pernikahan & Fotografi Wedding, foto perkawinan, wedding photo, paket foto, fotografer pernikahan, wedding photographer, pre wedding photographer, Minang Wedding, Pre Wedding photography & Wedding Party photography Padang – Sumbar, Padang wedding, Wedding Gallery & Event Organizer, Pre Wedding Photography, pre wedding, pre wedding photographer, pre wedding photography, wedding vendors, Pre Wedding Photography, Pre Wedding Foto, Foto Pra Nikah Foto, Paket Wedding, hasil foto, bentuk foto, ukuran foto, photo pre wedding, foto wisuda, foto keluarga, foto seminar, foto produk di…

Wen’S Photography
Digital Photo Studio & Video Shooting
Jl. Gajah Mada No.30 Gunung Pangilun Padang
Hp 08126764527, Telp 07519901204
http://wensphotography.at.ua
http://wensphotography.blogspot.com
http://wensphotography.wordpress.com
Views: 11895 | Added by: fadlikoto | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Search
Calendar
«  June 2010  »
SuMoTuWeThFrSa
  12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930
Entries archive
Gallery Foto
  • Klik di Sini
  • Copyright by Derisma©2010
    ****